Courtesy: Kompas, 11 September 2009
Mahasiswa Indonesia berhasil membuat rumah tahan gempa. Mungkin ini agak terlambat bagi kita untuk menyadari bahwa kita membutuhkannya sejak dulu. Setelah gempa di Kobe pada tahun 1995 yang katanya nyaris meluluhlantahkan seisi kota, pembangunan kota berubah drastis. Semua bangunan dibuat untuk tahan terhadap gempa. Di Singapura yang walaupun jauh dari zona rawan gempa, semua bangunannya tahan gempa karena harus melalui sertifikasi pemerintah. Ini semua pelajaran akibat runtuhnya bangunan New World Hotel di sana pada tahun 1986.
Setidaknya ini akan mengurangi jumlah korban di masa yang akan datang.
——
Courtesy: Kompas, 11 September 2009
Jakartaria kemarin mengangkat isu pencemaran udara di Jakarta. Jitet menggambarkan betapa asri dan hijaunya Jakarta di masa lampau. Udaranya pun masih segar dan menyejukkan. Sekarang, Jakarta berubah menjadi rimba beton. Kendaraan bermotor tidak terkendali. Kotanya berasap tebal sampai-sampai yang terlihat hanyalah hitam, putih, dan abu-abu.
Saya yakin masalah ini tidak hanya menimpa Jakarta dan kota metropolitan lainnya di dunia. Bisa saya katakan bahwa kota-kota lain di Indonesia juga mengalami masalah serupa. Ketika mengganyang negara tetangga, nasionalisme kita ada. Namun melihat masalah bangsa yang akan merugikan generasi mendatang yakni polusi, tidak ada yang peduli.
——
Courtesy: Kontan, 12 September 2009
Benny Rachmadi di harian Kontan menggambarkan gegap-gempita Bali dalam menyambut bintang Hollywood, Julia Roberts. Bung Benny pun benar dalam penggunaan kata ‘silakan’, yang kerap kali kita tulis sebagai ‘silahkan’.
Yang masih membuat saya garuk-garuk kepala adalah apa yang ingin Bung Benny nyatakan di kartun ini. Apakah ingin menggambarkan orang Bali yang jauh lebih ramah kepada turis asing dibanding turis lokal (diluahkan dalam buku ‘Benny & Mice Lost in Bali)? Ataukah ingin menyelamatkan aset budaya Bali? Atau yang lain lagi?
——
Courtesy: Kompas, 12 September 2009
GM Sidharta dengan Oom Pasikomnya mengangkat nasib korban gempa bumi di Tasikmalaya yang nasibnya semakin jauh dari kebangkitan. Tidak ada yang berniat mengulur tangan mereka. Kalau pun ada pasti tidak sebanding dengan Tragedi Situ Gintung atau tidak seimbang dengan jumlah warga yang membutuhkan. Warga tinggal berdesakan di tenda darurat sementara puing-puing bangunan nyaris tak tersentuh. Lagi-lagi kita termakan buaian janji poliTIKUS.