The Bell Curve

Candidates taking GCE ‘O’ Level may feel familiar with term ‘bell curve’. Yes, it is the curve that determines whether candidate will get A1, A2, B3, B4, C5, C6, D7, E8 or F9. There is a quota of students who can get a certain grade (it is harder to get A1 because of the quota despite the ability of a candidate, it all somehow depends on luck).

When I was taking GCE ‘O’ Level a year ago, my teachers kept saying “Don’t worry! If the whole Singapore doesn’t do well for (a particular subject), the bell curve will come in handy.”

They say only the good thing. And that is for the worst-case scenario.

But today, as my Research-Arts teacher Malgosia said, the bell curve isn’t good at all and it is actually bias. In the past almost all universities use the curve to determine whether a student has a good grade or not. Lately, many universities have scrapped the usage of the curve because it is promoting sneakiness, cheating and unhealthy rivalry.

Education is supposed to be shared for every one, not just certain students who are aiming to be the best. The curve has promoted secretness, backstabbers and intrigues in the academic world in the past. Students who wish to get good grades must attack other students (preferably rivals who can get better grades) because of the quota set.

Since the purpose of education is sharing, so why the curve is still used?

I don’t expect any answers from SEAB, Cambridge or even Singapore’s MOE. I’m just anxious why they didn’t tell the negative side of the curve beforehand. Why must I go Down Under to get the answer?

Well, that’s Singapore. Go figure.

P.S.: I’m not trying to attack certain country but I’m just disappointed with the system currently used. If you disagree with me, say it out here. Let it be a lesson for me, don’t be a backstabber in the wild, wild web. There’s no bell curve, anyway, to determine the quality of a blog post.

Geoweek – Di Mana Gerakan Hak-Hak Sipil di AS Dimulai?

Geoweek - Di Mana Gerakan Hak-Hak Sipil AS Dimulai
Courtesy: Kompas (14/03/2010)

Membaca artikel di atas, sungguh patut dipuji sikap Greensboro Four yang tidak menggunakan cara kekerasan dalam menuntut hak kaum mereka yang terabaikan. Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan aksi-aksi anarkis mahasiswa Indonesia yang terkesan mau menang sendiri dan mengatasnamakan kelompok yang belum tentu mereka bela. Saya yakin sekali pun mahasiswa Indonesia membaca tulisan saya, mereka belum tentu sadar akan perbuatan mereka atau mungkin malah mengecam saya (yang calon mahasiswa).

Kembali ke topik hak-hak sipil, di Indonesia sendiri di dunia daringnya sering saya melihat komentar atau pendapat yang masih mendiskreditkan kelompok tertentu terutamanya (maaf) yang berkulit hitam (orang Papua dan Afrika misalnya). Banyak dari kita merasa marah jika melihat kebudayaan kita dicontek negara lain tapi di lain sisi kita masih menghina kebudayaan dari pulau paling timur Indonesia. Dengan mengatakan “kalau anda tidak mau maju silakan pakai koteka“, sadarkah anda sedang mengejek bangsa sendiri? Anda telah mengambil hak mereka sebagai warga negara.

N.B.: Saya sensor kata-katanya untuk menghindari unsur SARA. Saya sendiri pernah membaca tulisan serupa di salah satu forum di dunia maya yang bernada serupa. Tidak ada niat untuk mengumbar SARA.

Learn or Gain Marks?

Through this GCE ‘O’ Level, I’ve learnt one thing which is most of us study just to gain marks, to get better marks in exam. I say ‘most’ because some people may disagree with me.

I remembered what my Social Studies teacher way back when I was in Primary 5 & 6, Ms Agung, said. She disliked students who showed off their excellent grades. We go to school to learn, to make our life better not to get high marks for exam. What for if you took the effort to memorise things but 20-30 years later, you need to refer to books for things that you had memorised back then?

Higher grades in our school certificates means that there is higher chance for us to work in a more respected job. Yes, it is. But don’t forget, more respected job means more stress. Because of the pressure, expectations and politicking.

More respected jobs means higher salary. They need it after going through tough challenges in their careers.

So how about people who worked as scavengers, farmers, fishermen who earned low salaries? How if one day they refused to work? A city will be dirty, run out of food supply (inspired by an article from Kompasiana).

It’s up to you to decide whether you want to work in a more respected or less respected. And the question is do you go to school to learn skills which will make your life easier or just to get good grades? It’s really up to you to decide.

Leadership atau Followership

Isu yang saya angkat kali ini adalah tentang kepemimpinan dan kepengikutan.

Saya awali dengan kepemimpinan atau yang lebih dikenal dengan kata ‘leadership’ bagi yang suka sok Inggris.

Tentu saja kita tahu banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi seorang pemimpin. Di sekolah, di tempat kerja atau bahkan berlomba-lomba menjadi pemimpin negara. Kepemimpinan itu memang harus ada dalam setiap organisasi, anda tentu tahu mengapa dan mungkin karena itulah anda terobsesi untuk menjadi seorang pemimpin. Tolong perhatikan kata mungkin di penghujung kalimat sebelum ini.

Sebagai seorang pemimpin, anda akan dihormati, mendapat kesempatan yang lebih besar dll. Tetapi ada satu hal yang bisa membuat pemimpin jatuh. Hal itu adalah kekosongan pengikut atau dalam kata lain bawahan.

Siapa yang akan anda pimpin jika tidak ada pengikut atau bawahan. Apa yang akan anda pimpin tanpa pengikut? Tanpa kejelasan identitas pengikut, ini akan menjadi zona abu-abu. Bagaimanapun, ini ada pengecualiannya. Toh nyatanya di dunia ini anda juga harus memimpin satu orang tak lain dan tak bukan diri anda sendiri.

Seorang pemimpin tidak dapat bekerja maksimal tanpa adanya pengikut atau bawahan. Tugas yang menumpuk dan tanggung jawab yang besar dari seorang pemimpin pastilah akan dibagikan kepada anak buahnya. Kalau tidak ada anak buah, bersiap-siaplah berusaha mati-matian untuk menyelesaikan tugas anda.

Saya pernah membaca sebuah tulisan menarik dari salah seorang Marketing Guru ternama Asia, Bapak Hermawan Kartajaya. Beliau menggarisbawahi apa yng disebut dengan ‘followership’. Artikel itu ditulis di majalah penerbangan Garuda bulan Maret 2004.

Kala itu, Bpk. Hermawan dilayani oleh seorang pramugari yang sudah lama bekerja di Garuda (23 tahun, kalau pramugari itu masih bekerja sampai sekarang berarti sudah 28 tahun). Pramugari itu berkata bahwa apa pun yang terjadi, dia akan mati-matian membela Garuda, flag carrier Indonesia yang sempat terpuruk itu. Bayangkan, dari zaman seragam Garuda masih berwarna oranye hingga sekarang, kesetiaan dan dedikasi pramugari itu terhadap BUMN penerbangan itu tetap bertahan. Itulah yang dimaksud dengan ‘followership’.

Jika kita ingin membuat sebuah brand dari kelompok yang kita pimpin, tentu brand itu akan menjadi lebih kuat jika adanya good followership di samping good leadership. Mengapa? Kita lihat kisah pramugari di atas. Pramugari itu telah melewati zaman emas hingga terpuruknya perusahaan tempat dia bekerja dan dia masih berkomitmen terhadap karirnya. Apakah kita bisa meniru apa yang dia sudah lakukan? Kita mungkin berkata ‘ya’ tapi dalam jangka panjang, tidakkah anda akan tergoda dengan kenaikan pangkat?

Ketika seseorang menjadi pemimpin, banyak yang menyalahgunakan jabatannya untuk menyerang mantan pesaingnya yang masih di jabatan terdahulu orang tersebut. Jika seorang pemimpin sebuah organisasi tapi pengikut organisasi tersebut membelot, dapatkah organisasi itu berjalan secara efektif?

Dari tulisan saya ini, saya harap anda dapat menyimpulkan sesuatu. Dan jika anda seorang pemimpin yang berjiwa besar, tidakkah seharusnya anda menghargai pengikut anda yang benar-benar setia ingin membantu anda daripada terus mengumpat mereka atau menertawakan mereka?