Urat nadi pasar swalayan

P2163077

Kasir sering kali saya anggap sebagai urat nadi pasar swalayan. Kenapa? Lah, kalau bayar kan di kasir, bukan di depan etalase.

Hero adalah salah satu pasar swalayan tertua di Indonesia di samping Gelael (di Bali cuma punya satu toko, di daerah Kuta). Tapi bagaimana kiat Hero melawan gempuran peritel asal Prancis dan anak usaha department store Matahari yang berusaha menyaingi kuasa ‘Prancis’?

Apalagi pesaing Hero ada yang berubah konsep menjadi waralaba convenience store, dan Indomaret pula yang jam bukanya macam IGA di negara bagian-negara bagian pantai timur Australia.

Pasar swalayan diskon asal Jerman, ALDI, saja jam bukanya dibatasi di Australia – demi melindungi peritel lokal. Jam 7 malam hari Senin hingga Jumat kecuali Kamis (jam 9 malam) dan jam 5 sore hari Sabtu, 6 sore hari Minggu.

Menurut saya, Hero (dan Gelael) adalah shopping heritage Indonesia walaupun harganya kalah bersaing dibanding si ‘Prancis’ maupun pasar tradisional. 2 sen dari saya.

Foto diambil di Hero Jl. Teuku Umar, Denpasar.

Taruh di mana? Terserah anda.

P2163076

Kota Denpasar adalah kota saya, kampung halaman saya. Kota di mana saya dilahirkan dan dibesarkan. Wajar kalau saya punya ikatan batin dengan kota ini.

Sebagai orang lokal, saya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat patung penari Bali diletakkan di belakang rambu lalu lintas di tengah-tengah Jalan Sudirman. Rambunya mungkin diletakkan secara strategis tapi patungnya? Terkesan boros APBD jadinya.

Mungkin Pemkot Denpasar harus belajar feng shui dulu? Apa pendapat anda?

Oh ya, kalau anda lihat patung ini baik-baik, dia punya lirikan tajam yang mungkin bisa membunuh. Kok jadi mistis begini? Asal bukan patung ‘leak’ juga tidak perlu takut.

Anak ayam berwarna

P1112328

Siapa di antara anda semua yang pernah membeli anak ayam yang diwarnai? Saya tidak, karena sejak kecil saya takut fobia terhadap unggas (hingga hari ini). Ceritanya tak penting, tapi kalau makan ayam atau bebek itu lain cerita. Tidak, itu bukan bentuk balas dendam saya terhadap unggas – ngapain balas dendam?

Pedagang anak ayam ini mengayuh sepeda dengan anak ayam di dalam kurungan di belakangnya. Mengayuh sepanjang Jalan Raya Sesetan/Jalan Diponegoro. Bagaimana jika anak ayam ini sudah tumbuh besar?

Lalu apa pendapat anda tentang laporan David O’Shea dari ibukota negara? Saya tidak mengatakan penjualan anak ayam ini sebagai bentuk penyiksaan binatang – selama saya belum tahu proses di belakangnya. Di blog ini, anda membuat kesimpulan sendiri.

Ekstra: Di majalah penerbangan Garuda edisi April 1996 (sampul depannya adalah seorang pramugari Garuda Indonesia dengan seragam modifikasi untuk penerbangan haji), ada satu tulisan menceritakan anak ayam berwarna di Bali. Kalau anda tertarik, saya bisa menceritakannya pada anda melalui wadah ini ketika saya berada di kampung halaman.

Masihkah anda membeli majalah?

Photograph4839

Kehadiran peranti macam iPad, iPhone, dan eBook (Kobo, Kindle dll.) di negara-negara yang lebih melek teknologi membuat percetakan-percetakan terdesak untuk mengadopsi format baru dalam membaca/menikmati buku dan majalah.

Apakah anda menyebut diri anda sebagai tech-savvy atau tipe ‘kolot’ yang masih lebih nyaman dengan format tradisional seperti saya?

Apapun gaya anda, setidaknya pedagang majalah di Indonesia masih bisa bernapas. Sementara toko buku raksasa dari negeri Paman Sam menutup gerai (tidak di negara kita tentunya – karena mereka tidak punya toko di negara kita).

Foto diambil di Jalan Sumatera, Denpasar pada tanggal 24 Januari 2011. Fotonya boleh diambil dari kamera ponsel lalu diedit (dalam artian fotonya mungkin jelek), tapi saya tetap pemilik hak cipta yang sah.

Cerita (lagi) dari Pasar Badung

Selain lama tidak blogging, saya juga sudah lama tidak menulis posting (ini Bahasa Indonesianya apa ya? Tiang sing nawang :D) dalam bahasa kita bersama. Mungkin kalau anda tipe orang yang suka mengorek informasi secara rahasia tanpa ingin diketahui pihak yang dikorek informasinya, anda sudah pasti pernah melihat saya menulis posting tentang Pasar Badung dalam Bahasa Inggris di blog ini pula.

Ceritanya mengambil tempat di akhir bulan pertama tahun ini. Tanggal 24 Januari 2011.

Pasar Badung bisa saya bilang adalah pasar basah terbesar yang pernah saya kunjungi sejauh ini. Kalau Pasar Atum terhitung pasar basahkah?

Kali ini saya akan memperluas wawasan anda tentang pasar ini dari sudut atas. Maksudnya lantai 2 (itu kalau anda menghitung lantai terbawah sebagai lantai 1, bukan lantai dasar).

Photograph4830

Pasar ini sibuk bukan main setiap pagi (untuk ukuran kota Denpasar, jangan bandingkan dengan pasar di ibukota-ibukota Jawa). Walaupun berkonsep tertutup, tempat ini tetap saja terkesan jorok. Saya bisa menghitung berapa banyak kecoa yang saya temukan sambil menggendong belanjaan.

Photograph4831

Anak tangga terbesar yang menghubungkan lantai 1 dan 2 digunakan sebagai tempat mangkal para wanita (saya tidak bermaksud seksis di sini) yang bekerja dengan mengangkat barang belanjaan para pembelanja/belanjawan di pasar ini. Barang belanjaan diletakkan di atas keranjang yang mereka letakkan di atas kepala mereka. Rp 3.000,- Itu harga yang harus anda bayar jika anda berniat menggunakan jasa mereka.

Diskriminasi gender atau tidak, anda pengambil keputusan. Saya tidak bisa memaksa anda mengikuti opini saya.

Photograph4832

Apakah harga cabai sudah turun di pasar anda?

Photograph4833

Orang Bali sangat religius. Bahkan mereka menunjukkan bahwa mereka berdoa sebelum bekerja dengan meletakkan canang di atas lapak mereka. Bagi pedagang yang beragama lain, tentunya tempat sesajen ini kosong. Tapi mereka menunjukkan toleransi antar umat beragama. Tidak seperti kelompok tertentu yang menginginkan negara ini menjadi negara berasaskan agama tertentu dengan cara-cara yang tidak agamis (saya agak ambigu dengan penggunaan kata terakhir).

Photograph4834

Apakah anda masih ingat atau mungkin tahu bagaimana cara menggunakan timbangan ini? Berkat timbangan inilah kita bisa melakukan tawar-menawar. Dengan timbangan modern pun sepertinya bisa, tapi inilah simbol dari pasar tradisional Indonesia.

N.B.: Saya tidak mengharuskan pedagang beralih ke timbangan modern.

Sekarang kita turun ke lantai 1.

Photograph4836

Untuk kaum tertentu yang mengharamkan daging ini, mohon maaf. Saya tidak bermaksud memancing amarah anda di sini (memangnya foto di atas membuat anda marah?). Tapi di Bali karena mayoritas penduduknya beragama Hindu, maka kebanyakan orang Bali tidak memakan daging sapi. Sebagai gantinya mereka memakan daging babi. Jangan lupa cuci belanjaan sampai bersih! Jangan keracunan makanan karena anda tidak higienis!

Dari daging kita beralih ke sari laut.

Photograph4837

Berapa harga udang di pasar anda? Kalau harga di supermarket, saya bisa cek di koran.

Sekarang waktunya keluar karena belanja sudah kelar. Sebelum keluar sempat-sempatkan dulu beli kolang-kaling (buah atap istilahnya kalau di ibukota negara).

Photograph4838

Bagaimana dengan pasar di daerah anda?

Tambahan: Sebelum menulis artikel ini, saya mengunjungi pasar mingguan (setiap hari Sabtu) di Davies Park, West End, Brisbane. Saya tidak mengatakan pasar di luar Indonesia jauh lebih baik. Suasananya persis Pasar Pekambingan kota Denpasar. Hanya saja lapaknya lebih tertata, walaupun jalannya agak becek (padahal Brisbane tidak hujan belakangan).

Orang Australia berbeda dengan orang Indonesia ketika berbelanja. (Kebanyakan dari) mereka mengkhususkan satu hari untuk membeli barang grosir. Maka dari itu tidak ada pasar yang buka tujuh hari berturut-turut dalam satu minggu (kurang tahu kalau di Sydney atau Melbourne).

Sekian dari saya.