Selain lama tidak blogging, saya juga sudah lama tidak menulis posting (ini Bahasa Indonesianya apa ya? Tiang sing nawang :D) dalam bahasa kita bersama. Mungkin kalau anda tipe orang yang suka mengorek informasi secara rahasia tanpa ingin diketahui pihak yang dikorek informasinya, anda sudah pasti pernah melihat saya menulis posting tentang Pasar Badung dalam Bahasa Inggris di blog ini pula.
Ceritanya mengambil tempat di akhir bulan pertama tahun ini. Tanggal 24 Januari 2011.
Pasar Badung bisa saya bilang adalah pasar basah terbesar yang pernah saya kunjungi sejauh ini. Kalau Pasar Atum terhitung pasar basahkah?
Kali ini saya akan memperluas wawasan anda tentang pasar ini dari sudut atas. Maksudnya lantai 2 (itu kalau anda menghitung lantai terbawah sebagai lantai 1, bukan lantai dasar).
Pasar ini sibuk bukan main setiap pagi (untuk ukuran kota Denpasar, jangan bandingkan dengan pasar di ibukota-ibukota Jawa). Walaupun berkonsep tertutup, tempat ini tetap saja terkesan jorok. Saya bisa menghitung berapa banyak kecoa yang saya temukan sambil menggendong belanjaan.
Anak tangga terbesar yang menghubungkan lantai 1 dan 2 digunakan sebagai tempat mangkal para wanita (saya tidak bermaksud seksis di sini) yang bekerja dengan mengangkat barang belanjaan para pembelanja/belanjawan di pasar ini. Barang belanjaan diletakkan di atas keranjang yang mereka letakkan di atas kepala mereka. Rp 3.000,- Itu harga yang harus anda bayar jika anda berniat menggunakan jasa mereka.
Diskriminasi gender atau tidak, anda pengambil keputusan. Saya tidak bisa memaksa anda mengikuti opini saya.
Apakah harga cabai sudah turun di pasar anda?
Orang Bali sangat religius. Bahkan mereka menunjukkan bahwa mereka berdoa sebelum bekerja dengan meletakkan canang di atas lapak mereka. Bagi pedagang yang beragama lain, tentunya tempat sesajen ini kosong. Tapi mereka menunjukkan toleransi antar umat beragama. Tidak seperti kelompok tertentu yang menginginkan negara ini menjadi negara berasaskan agama tertentu dengan cara-cara yang tidak agamis (saya agak ambigu dengan penggunaan kata terakhir).
Apakah anda masih ingat atau mungkin tahu bagaimana cara menggunakan timbangan ini? Berkat timbangan inilah kita bisa melakukan tawar-menawar. Dengan timbangan modern pun sepertinya bisa, tapi inilah simbol dari pasar tradisional Indonesia.
N.B.: Saya tidak mengharuskan pedagang beralih ke timbangan modern.
Sekarang kita turun ke lantai 1.
Untuk kaum tertentu yang mengharamkan daging ini, mohon maaf. Saya tidak bermaksud memancing amarah anda di sini (memangnya foto di atas membuat anda marah?). Tapi di Bali karena mayoritas penduduknya beragama Hindu, maka kebanyakan orang Bali tidak memakan daging sapi. Sebagai gantinya mereka memakan daging babi. Jangan lupa cuci belanjaan sampai bersih! Jangan keracunan makanan karena anda tidak higienis!
Dari daging kita beralih ke sari laut.
Berapa harga udang di pasar anda? Kalau harga di supermarket, saya bisa cek di koran.
Sekarang waktunya keluar karena belanja sudah kelar. Sebelum keluar sempat-sempatkan dulu beli kolang-kaling (buah atap istilahnya kalau di ibukota negara).
Bagaimana dengan pasar di daerah anda?
Tambahan: Sebelum menulis artikel ini, saya mengunjungi pasar mingguan (setiap hari Sabtu) di Davies Park, West End, Brisbane. Saya tidak mengatakan pasar di luar Indonesia jauh lebih baik. Suasananya persis Pasar Pekambingan kota Denpasar. Hanya saja lapaknya lebih tertata, walaupun jalannya agak becek (padahal Brisbane tidak hujan belakangan).
Orang Australia berbeda dengan orang Indonesia ketika berbelanja. (Kebanyakan dari) mereka mengkhususkan satu hari untuk membeli barang grosir. Maka dari itu tidak ada pasar yang buka tujuh hari berturut-turut dalam satu minggu (kurang tahu kalau di Sydney atau Melbourne).
Sekian dari saya.